INDAHNYA
HIDUP
DALAM
ISLAM[i]
Oleh : Ust Muhammadun
Islam itu tinggi dan
tidak ada yang lebih tinggi dibandingkan Islam. Ketika umat manusia mengadopsi
sistem Islam untuk mengatur diri dan habitatnya maka manusia akan memperoleh
kejayaaan. Itulah makna Islam sebagai rahmatan
lil ‘alamin. Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, jika diterapkan.
Namun sebaliknya jika umat manusia mencampakkan atau mengambil Islam secara
parsial, kerusakan diri dan habitat manusia pasti akan terjadi. Sejarah telah
membuktikan ketika Islam memimpin dunia lebih dari 13 abad, kemajuan,
kesejahteraan, keadilan dan kedamaian dirasakan seluruh kalangan. Namun ketika
kapitalisme berkuasa belum genap satu abab, umat manusia didera oleh berbagai
bentuk kenestapaan. Bencana sosial, pembantaian, kerusakan ekosistem,
kemiskinan, dan ancaman kelaparan adalah sekedar contoh dampak buruk
kapitalisme.
Bagi sebagian orang,
penerapan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara masih
menjadi momok menakutkan. Barangkali,
jika itu terjadi pada orang-orang kafir dapat dimaklumi. Namun, sangat
mengherankan jika sikap itu juga menghinggapi orang-orang yang mengaku Muslim.
Sebab, dari berbagai sisi, tak ada alasan untuk menolak dan takut pada
penerapan syariat Islam.
Dari sisi syariat, dalil yang mewajibkan penerapan syariat Islam secara total
terkatagori qath‘i, baik tsubût maupun dalâlah-nya. Dalil
itu ada yang berupa perintah kepada manusia untuk memutuskan semua perkara
dengan syariat-Nya (QS al-Maidah [5]: 48, 49); ada yang sekaligus
memberikan celaan dan ancaman terhadap setiap orang yang membangkangnya (QS
al-Ahzab [33]: 36). Kewajiban tersebut diperkuat dengan dalil-dalil yang
melarang setiap Mukmin mengambil dan menerapkan hukum yang tidak berasal
dari-Nya (QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47; an-Nisa' [4]: 50). Sedemikian kerasnya
larangan itu, hingga Allah Swt. menolak pengakuan iman orang yang tidak
bersedia berhukum dengan syariat Islam (QS an-Nisa' [4]: 65). Jika menerapkan
syariat telah nyata merupakan kewajiban dari Allah Swt., atas dasar apa berani
menolak syariat-Nya? Adakah ketentuan syariat Islam yang patut ditakuti?
Bagian syariat yang sering dipandang sebagai momok menakutkan adalah beberapa
ketentuan-ketentuan hukum dalam nizhâm al-'uqûbât (sistem pidana).
Berbagai jenis dan bentuk sanksi yang ditetapkan syariat seperti cambuk, rajam,
qishâsh, atau potong tangan dianggap terlalu keras dan tidak manusiawi;
bahkan sudah dianggap ketinggalan zaman dan tidak layak bagi manusia modern.
Tragisnya, syariat Islam yang diterapkan dalam negara kerap hanya dipahami di
seputar hukum tersebut.
Ketakutan itu jelas tak beralasan. Sebab, berbagai jenis dan bentuk hukuman
yang ada dalam nizhâm al-'uqûbât itu hanya akan dikenakan kepada pelaku
pelanggaran syariat. Hukuman rajam, misalnya, tidak akan ditimpakan
kecuali terhadap pelaku perzinaan; potong tangan tidak akan dijatuhkan
kecuali terhadap pencuri (yang memenuhi syarat-syarat syar‘i untuk
dipotong tangannya).
Oleh karena itu, mereka yang bukan pezina, pencuri, pemabuk, pembunuh, dan
pelaku pelanggaran syariat lainnya tidak perlu khawatir dengan berbagai jenis
hukuman itu. Lagi pula, berbagai hukuman semestinya harus dilihat sebagai
bentuk perlindungan kepada masyarakat luas dan penjagaan dari pelanggaran
syariat. Hukuman cambuk atau rajam bagi pezina, misalnya, harus dipandang
sebagai perlindungan syariat agar manusia tetap menjadi makhluk beradab.
Pemahaman yang mengidentikkan syariat Islam hanya di seputar nizhâm
al-'uqûbât juga merupakan kesalahan besar. Sebagai dîn yang
paripurna (kâmil[an] wa syâmil[an]), Islam menyodorkan sistem yang
sempurna untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Berbagai interaksi
yang dilakukan manusia tidak ada yang dibiarkan lepas dari syariat untuk
mengaturnya. Syariat Islam telah memberikan pengaturan secara jelas dan
operasional terhadap semua interaksi yang dilakukan oleh manusia, baik
interaksi manusia dengan Tuhannya dalam bentuk akidah dan hukum-hukum ibadah;
dengan dirinya sendiri dalam hukum-hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlak;
maupun dengan sesamanya yang terkandung dalam hukum-hukum muamalat dan 'uqûbât.
Jika dikaitkan dengan hukum-hukum lainnya, nizhâm al-'uqûbât lebih
berfungsi sebagai 'palang pintu' terakhir untuk menjaga manusia agar tidak terjerumus
ke dalam penyimpangan dan pelanggaran.
Patut dicatat, semua ketetapan syariat itu pada hakikatnya adalah untuk
kebaikan dan kemaslahatan manusia. Semua perkara yang dituntut syariat untuk
dikerjakan adalah maslahat bagi manusia. Sebaliknya, semua perkara yang
dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan adalah madarat bagi manusia.
Oleh karena itu, setiap orang yang beriman dan menaati syariat-Nya akan
dianugerahi kehidupan yang baik (QS an-Nahl []: 97). Allah Swt. juga
berjanji akan melimpahkan dan membukakan berkah-Nya dari langit dan bumi kepada
penduduk negeri yang mau beriman dan bertakwa (QS al-A‘raf [7]: 96). Orang yang
menjalankan dîn-Nya secara istiqamah juga dijamin memperoleh kehidupan
yang mudah (QS al-Maidah [5]: 66).
Terdapat banyak fakta yang menunjukkan bukti keunggulan dan
kehebatan syariat Islam dalam menata kehidupan dan menyelesaikan berbagai
problem kehidupan. Oleh karena
itu, dari sisi keunggulan, tidak ada satu pun sistem kehidupan yang
melebihinya. Paparan berikut hanya mengungkap secuil bukti kebenaran tersebut.
Bidang Hukum dan Pemerintahan
Persoalan fundamental dalam sistem politik adalah menyangkut konsep
kedaulatan (sovereignty atau as-siyâdah). Kedaulatan merupakan
kekuasaan yang tertinggi dan mutlak; satu-satunya yang memiliki hak untuk
mengeluarkan hukum. Dengan demikian, kedaulatan memiliki kedudukan amat
strategis bagi kehidupan suatu negara. Ia menjadi rujukan seluruh warga negara
sekaligus memiliki kekuatan hukum yang mampu memaksa mereka untuk menjalankan
atau meninggalkan sesuatu. Karena itu, konsep kedaulatan akan menentukan
corak masyarakat, arah kebijakan negara, dan semua subsistem yang menjadi
turunannya—seperti sistem hukum, peradilan, ekonomi, dan sebagainya.
Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariat Islam. Islam hanya mengakui
Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-Hâkim)
dan syariat (al-Musyarri‘); baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian,
akhlak, muamalat, maupun uqûbât (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan
peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum meski satu hukum sekalipun.
Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya
berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang
wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt.
Dengan konsep kedaulatan ini, manusia akan terbebas dari penghambaan kepada
sesama manusia. Sebab, status manusia di hadapan hukum semua sama. Tidak ada
yang lebih berkuasa membuat hukum sehingga bisa memaksakan kehendaknya kepada
yang lain. Tidak ada pula kekhawatiran akan ada hukum yang menguntungkan satu
pihak dan menzalimi pihak lain. Sebab, hukum Islam berasal dari Zat Yang
Mahaadil; Allah tidak memiliki kepentingan apapun terhadap kelompok manusia
tertentu. Hukum Islam dipastikan juga tidak akan mengalami
'bongkar-pasang' karena Allah Yang Mahatahu membuat hukum sesuai dengan
fitrah manusia di manapun dan kapanpun manusia berada; tidak didasarkan pada
tempat dan zaman tertentu. Selama fitrah manusia sejak Nabi Muhammad saw.
sampai sekarang tidak berubah, hukum Islam pun tidak akan dan tidak boleh
berubah.
Memang, dalam pemerintahan, rakyat diwajibkan taat kepada pemimpin. Namun,
bukan berarti pemimpin boleh memerintah dengan sekehendak hatinya. Sebab, dalam
menjalankan roda pemerintahannya, pemimpin harus terikat dengan syariat. Bahkan
pemimpin diangkat dalam rangka menjadi wakil umat untuk menjalankan syariat.
Oleh karena itu, jika perintah pemimpin terbukti menyimpang dari syariat, ia
tidak boleh didengar dan ditaati. Bahkan rakyat dan semua komponen masyarakat
harus meluruskan pemimpin tersebut dengan melakukan amar makruf nahi mungkar,
apa pun risikonya. Upaya itu dilakukan bukan dalam rangka menjatuhkan penguasa
sebagaimana yang lazim dilakukan oleh partai oposisi dalam sistem demokrasi.
Namun demikian, jika Khalifah benar-benar tidak bersedia kembali pada syariat
Islam, bahkan secara terang-benderang memperlihatkan tanda-tanda kufran
bawâhan (kekufuran yang nyata), rakyat harus mengambil-alih kekuasaan
meskipun harus mengangkat senjata.
Jika konsep ini dijalankan dengan konsekuen, roda pemerintahan akan lurus; clean
goverment akan terwujud; stabilitas pemerintahan pun dapat terjaga tanpa
harus memasung sikap kritis warga negara dalam melakukan kontrol terhadap
penguasa. Bagi pemimpin, konsep itu tentu amat memudahkan. Ketika dia membuat
berbagai program dan kebijakan yang sesuai dengan syariat, dia berhak dan wajib
ditaati rakyatnya. Andai dia keliru dan nyata-nyata bertentangan dengan
syariat, rakyat siap mengingatkan dirinya. Jika memang nasihat rakyatnya
memiliki dasar dalil yang kuat, dia harus menerima. Walhasil, kesalahan pun
urung terjadi.
Umar bin al-Khaththab, ketika menjadi khalifah, pernah membuat keputusan
berupa pembatasan jumlah mahar yang boleh diminta wanita. Kebijakan itu
dikeluarkan untuk memudahkan pria dalam menikah. Akan tetapi, keputusan
tersebut diprotes seorang wanita. Menurut wanita itu, kebijakan tersebut
bertentangan dengan QS an-Nisa' [4]: 20. Karena didasarkan pada dalil yang
kuat, Umar pun menerima protes tersebut dan berkata, "Benarlah wanita itu,
dan sayalah yang keliru."
Dengan demikian, roda pemerintahan tidak bertopang pada kekuatan figur
pemimpin, tetapi lebih bersandar pada ideologi negara, yakni Islam. Tidak aneh,
meski dalam sejarah pernah terjadi perebutan kekuasan di antara beberapa
kelompok, sistem yang diterapkan tidak mengalami perubahan. Sekitar 13 abad,
Daulah Islamiyah berdiri dengan kokoh memayungi umat Islam. Bandingkan dengan
Komunisme, yang pernah digemborkan penganutnya menjadi babak akhir sejarah
manusia. Belum satu abad, ideologi itu sudah bangkrut dan ditinggalkan
pengikutnya. Demikian pula dengan Kapitalisme. Meskipun terlihat menggurita,
sebenarnya ideologi ini juga amat keropos. Dipastikan, tidak lama lagi
ideologi ini pun akan ambruk menyusul ideologi yang pernah menjadi pesaingnya.
Syariat Islam dalam Dunia Pendidikan
Dalam pendidikan, akidah Islam diletakkan sebagai asasnya. Akidah Islam inilah
yang menjadi penentu arah dan tujuan pendidikan, kurikulum yang diajarkan, dan
metode pengajaran; termasuk penentuan guru dan budaya sekolah dalam semua
jenjang pendidikan.
Akidah Islam adalah asas dalam konteks mengambil dan meyakininya. Dengan
kata lain, akidah Islam harus dijadikan sebagai standar untuk menilai, apakah
pengetahuan yang diambil itu bertentangan dengannya atau tidak.
Sebagai konsekuensinya, pendidikan dalam Islam dapat memilah tegas antara tsaqâfah
dan ilmu-ilmu eksperimental. Dalam hal tsaqâfah (pemikiran), umat Islam
hanya diperbolehkan mengambil dan meyakini pemikiran yang berasal dari Islam;
tidak boleh mengadopsi tsaqâfah lainnya. Sebab, tsaqâfah terkait
erat dengan akidah dan sistem kehidupan. Sebaliknya, dalam hal ilmu-ilmu
eksperimental dan teknologi seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi,
matematika, dan sebagainya, kita boleh belajar dan mengambilnya dari kaum kuffâr.
Sebab, semua jenis pengetahuan tersebut bersifat universal yang tidak terkait
dengan ideologi tertentu.
Dengan konsep tersebut, tujuan pendidikan yang diorientasikan untuk melahirkan
generasi yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqâfah Islam, dan
ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan) akan benar-benar terwujud.
Sebaliknya, kepribadian ganda pada pelajar-pelajar Muslim hasil didikan sistem
pendidikan sekular—yang selama ini banyak dikeluhkan—dapat dicegah.
Islam mewajibkan para penguasa untuk membiayai pendidikan rakyatnya. Sebab,
dalam pandangan syariat, penguasa berkewajiban memelihara, mengatur, dan
melindungi urusan rakyat, termasuk dalam bidang pendidikan dan pemberantasan
kebodohan. Semua rakyat harus dapat menikmati pendidikan secara cuma-cuma.
Seluruh warga negara juga diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengenyam
pendidikan dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan
fasilitas sebaik mungkin.
Dana pendidikan itu diambil dari kas Baitul Mal. Ketetapan ini diambil
berdasarkan fi‘liyyah Rasulullah saw. Rasulullah saw., yang juga menjadi
kepala negara, telah menganti tebusan yang harus dibayar para tawanan Perang
Badar dengan keharusan mereka masing-masing untuk mengajar sepuluh kaum Muslim.
Pada masa pemerintahan Umar bin al-Khaththab, para guru yang mengajar anak-anak
juga mendapatkan gaji 15 dinar (1 dinar=4.25 gram emas) yang diambilkan dari
Baitul Mal.
Langkah itu diikuti oleh para khalifah dan penguasa berikutnya. Di Baghdad
pernah dibangun Universitas al-Mustanshiriyyah. Khalifah Hakam bin Abdurraham
an-Nashir juga pernah mendirikan Universitas Cordova yang saat itu menampung
mahasiswa dari kaum Muslim maupun dari Barat. Universitas-universitas itu telah
mencetak para ilmuan yang pengaruhnya mendunia hingga kini melalui berbagai
temuan-temuannya; seperti ar-Razi, orang pertama yang mengidentifikasi penyakit
cacar dan campak dan menggeluti bidang operasi; Ibnu al-Haitsam, ahli optik
yang menemukan perbandingan antara sudut pemantulan (refleksi) dan
pembiasan (refraksi); al-Khawarizmi, orang pertama yang menyusun aljabar; Jabir
bin Hayan, seorang ahli kimia yang terkenal; al-Biruni yang meletakkan sebuah teori
sederhana guna mengetahui volume dari lingkungan geologis; dan sebagainya.
Kondisi itu tentu jauh berbeda dengan saat ini. Biaya pendidikan dibebankan
kepada rakyat. Akibatnya, pendidikan menjadi mahal. Hanya keluarga yang
berkantong tebal saja yang bisa menikmati pendidikan. Jika kebijakan itu
diteruskan maka kebodohan dan kemiskinan yang dialami sebagian besar
rakyat akan tetap terjadi. Kebodohan dan kemiskinan struktural pun menjadi tak
terhindarkan. Kondisi itu tentu menjadi 'bom waktu' yang akan meledak suatu
saat.
Syariat Islam dan Pelayanan Kesehatan
Sebagaimana pendidikan, kesehatan juga merupakan kebutuhan asasi yang harus
dirasakan manusia dalam hidupnya. Keduanya termasuk masalah 'pelayanan umum (ri’âyat
syu’ûn al-ummah) dan kemaslahatan hidup terpenting'. Dalam hal ini, negara
wajib menjaga dan mewujudkan pemenuhannnya bagi seluruh warganya; baik Muslim
maupun non-Muslim, kaya maupun miskin. Semua biaya yang diperlukan menjadi
tanggungan Baitul Mal.
Ketetapan itu didasarkan pada fi‘liyyah Rasulullah saw. Ketika beliau
menerima hadiah dari Muqauqis, Raja Mesir, berupa dokter (ahli pengobatan),
dokter itu dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan untuk seluruh rakyat.
Tugasnya mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Sikap beliau
menjadikan dokter untuk kepentingan umum ini berbeda saat beliau mendapatkan
hadiah dari Raja Aikah berupa selimut bulu dan keledai. Hadiah tersebut
digunakan beliau sebagai milik pribadi. Tindakan Rasulullah saw. tersebut,
yakni menjadkan dokter untuk seluruh rakyat, menunjukkan bahwa hadiah tersebut
bukanlah untuk kepentingan beliau, namun untuk kaum Muslim.
Pernah serombongan orang yang berjumlah delapan orang dari Urainah datang
mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka menyatakan keimanan dan
keislamannya kepada Rasulullah saw. Di sana mereka terserang penyakit dan
menderita sakit limpa. Rasulullah saw. memerintahkan mereka beristirahat di pos
penggembalaan ternak kaum Muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba. Mereka
tinggal di sana hingga sembuh dan mereka diizinkan memimum susu unta karena
mereka memang berhak. Rasulullah saw. juga pernah membangun suatu tempat
pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dari harta Baitul Mal.
Pada masa lalu, Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan
sebaik-baiknya. Ia telah menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati
orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Umar bin
al-Khaththab ra. pernah memberikan sesuatu dari Baitul Mal untuk membantu
suatu kaum yang terserang lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah
tersebut.
Hal yang sama juga dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali sesudahnya. Dalam
bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang
dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan
minuman, dan obat-obatan serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk
memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang yang sakit.
Bani Umayah banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang
terkena penyakit lpra dan tuna netra. Bani Abasiyah juga banyak mendirikan
rumah sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus, dan lain-lain. Merelah yang
mempopulerkan rumah sakit keliling.
Jadi, menyediakan dokter di tengah-tengah masyarakat, mengatasi problema
kesehatan masyarakat, serta membangunan sarana atau balai-balai kesehatan
adalah tugas yang dibebankan Islam kepada negara. Negaralah yang bertanggung
jawab terhadap perwujudan semua itu.
Jaminan negara terhadap rakyatnya dalam bidang kesehatan ini amat penting.
Sebab, salah satu indikator sebuah negara dikatakan kuat adalah warganya hidup
sehat, baik fisik maupun psikisnya. Tingkat kesehatan warga juga akan
berpengaruh pada tingkat produktivitas, kreativitas, dan kesejahteraan warga.
Sebaliknya, pengabaian tanggung jawab ini akan berakibat fatal bagi
masyarakat secara luas. Ketika pembiayaan kesehatan dibebankan kepada rakyat,
kesehatan menjadi barang mahal. Orang-orang miskin, karena tidak mempunyai cukup
uang, tidak bisa berobat. Padahal, bisa jadi penyakit yang diidapnya itu adalah
penyakit menular yang berbahaya, yang jika dibiarkan tidak diobati, akan
berubah menjadi wabah yang mengancam seluruh warga masyarakat.
Kedudukan Non-Muslim
Dalam konteks bernegara, secara umum orang kafir terbagi menjadi dua, yakni:
(1) warga negara; (2) bukan warga negara. Orang-orang non-Muslim yang termasuk
warga negara Islam disebut kafir dzimmi, yakni orang-orang yang tidak
beragama Islam namun hidup di dalam naungan Daulah Islamiyah. Orang yang
berstatus dzimmi memiliki perjanjian berupa perlindungan dari umat Islam
untuk memperlakukan mereka sesuai dengan apa yang layak untuk mereka, termasuk
mengatur segala urusan mereka dengan hukum Islam.
Semua orang yang menyandang status sebagai warga negara akan menikmati semua
hak, di samping menjalankan semua yang ditetapkkan oleh syariat. Tidak ada
bedanya antara Muslim atau non-Muslim. Mereka harus diperlakukan secara adil
(QS an-Nisa' [4]: 8).
Negara juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada individu-individu
tertentu di antara rakyatnya dalam masalah hukum, pengadilan, dan pengaturan
berbagai urusan; tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras, agama, atau yang
lainnya. Dalam hal muamalat dan 'uqûbât, negara menerapkan hukum Islam
kepada seluruh warganya, baik Muslim maupun bukan.
Sedangkan dalam hal keyakinan agama, mereka tidak diganggu (QS al-Baqarah [2]:
256); demikian pula dalam urusan pernikahan dan perceraian. Mereka juga tidak
dipaksa ikut berjihad. Dalam hal makanan dan pakaian, mereka diperlakukan
sesuai dengan agama mereka. Jika agama mereka membolehkan babi dan khamr,
mereka diizinkan mengkonsumsinya; asal berada dalam lingkungan mereka. Kaum
laki-lakinya juga tidak dilarang mengenakan emas atau sutra. Hanya saja, mereka
tidak diperbolehkan memperjualbelikan makanan atau minuman yang diharamkan
Islam itu di pasar-pasar. Wanita-wanitanya juga tidak diperkenankan menggunakan
pakaian yang tidak sesuai dengan syariat ketika berada dalam kehidupan umum.
Sebab, dalam kehidupan umum semua warga negara harus tunduk pada hukum Islam
tanpa memperhatikan lagi agama yang dipeluknya.
Dalam sejarah, orang-orang non-Muslim telah merasakan bagaimana pengaturan dan
jaminan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan pokok di bawah naungan Khilafah.
Diceritakan dalam kitab al-Kharâj karangan Abu Yusuf bahwa Amirul
Mukminin, Umar bin al-Kaththab ra., suatu saat melihat seorang Yahudi tua di
suatu pintu. Beliau bertanya, "Apakah ada yang dapat aku bantu?"
Orang Yahudi itu menjawab, bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan
makanan, sementara ia harus membayar jizyah. "Usiaku sudah
lanjut," katanya. Umar lalu berkata, "Kalau begitu keadaanmu,
alangkah tidak adilnya kami, karena kami mengambil sesuatu darimu pada saat
mudamu dan kami membiarkanmu di kala tuamu."
Setelah berkata demikian, Khalifah Umar lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi
tersebut, dan memerintahkan Baitul Mal untuk menanggung beban nafkahnya beserta
seluruh orang yang menjadi tanggungannya. Paparan
di atas menunjukkan, bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dari penerapan syariat
Islam. Bahkan seharusnya, syariat Islam dirindukan oleh setiap orang. Siapa
yang tidak merindukan hidup sejahtera, tenteram, dan bahagia di bawah naungan
Islam? Jika kebenaran dan keunggulan Islam telah terpampang dengan jelas,
masihkah ada yang betah berlama-lama hidup menderita di bawah cengkeraman
Kapitalisme, sebagaimana saat ini?
Sengsara
dalam Sistem Kapitalisme
Akibat kepitalisme
antara lain adalah kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan. Menurut Laporan Global Hunger Index (GHI) yang
dibuat oleh International Food Policy Research Institute, Sepanjang
tahun 2010 terdapat 1 Miliar penduduk dunia yang mengalami kelaparan. 120 pemimpin dunia di awal milenium ini
telah berkumpul mengajukan konsep MDGs.
Mereka ingin menurunkan angka kemiskinan, tetapi tetap dalam cengkeraman
kapitalisme .Apa yang terjadi? Menurut Bank Dunia kemiskinan ekstrem bertambah
50 juta pada 2009 dan 64 juta tahun 2010. Krisis membuat tingkat kemiskinan
bisa lebih tinggi pada 2015.
Disamping itu pembantaian dan penjajahan terjadi di
berbagai belahan dunia. Di Palestina, Irak, Afghanistan dan kini di Pakisten.
Kerusakan moral juga teramat parah. Jutaan manusia terancam mati karena AIDS.
Belum lagi dampak buruk pornografi, pergaulan bebas, aborsi, tersebarnya aliran
sesat dll. Kerusakan lingkungan akibat aksploitasi SDA oleh para kapitalis juga
teramat parah. Akibatnya bumi makin gersang dan panas (global warming), muncul
35 penyakit baru, dan bencana pun makin
merajalela.
Sebetulnya
Ideologi kapitalisme kini sudah sekarat. Moris Berman, 63 tahun, ahli sejarah kebudayaan kelahiran
New York, yang memperoleh Ph D dari Johns Hopkins University, menulis buku Dark
Ages America: The Final Phase of Empire (Norton, 2006), yang meramalkan
imperium Amerika segera akan rubuh. Direktur
Bank Dunia, Robert Zeolllick menyatakan, krisis ekonomi di dunia yang secara
berkala terjadi menunjukkan kegagalan sistem ekonomi kapitalis. Hingga
tahun 2010 total utang Negeri Amerika Serikat sudah mencapai US$ 12 triliun.
Jika dibandingkan dengan total produk domestik bruto (PDB) negara itu yang
sebesar US$ 14,5 triliun, rasio utang terhadap PDB Amerika sudah 82,7 persen.
Artinya negara ini sudah bangkrut. “The
way of life known as Western Civilization is on a death path” kata John
Mohawk, pakar sejarah Amerika di The State University of New York. Lantas
mengapa mereka masih bisa bertahan?
Kapitalisme masih bisa bertahan karena masih adanya dukungan dari
rezim-rezim boneka di dunia Islam. Sehingga mereka merelakan negerinya
menjadi mangsa kapitalisme global. Obyek
bagi budaya Barat. Pasar bagi produk industri negara-negara barat. Mereka juga merelakan kekayaan sumberdaya
alamnya dieksploitasi oleh korporat asing penopang idelologi kapitalisme.
Kapitalisme akan terus
disebarkan dengan metode isti’mar
(penjajahan). Baik penjajahan primitif seperti yang terjadi di Irak dan
Afghanistan. Ataupun dengan model neo-imperialisme seperti penjajahan budaya,
hukum politik, dan ekonomi. Penjajahan melalui proses legislasi yang terjadi di
Indonesia misalnya. Menurut anggota DPR Eva Kusuma Sundari, sejak Reformasi
hingga saat ini sudah dilahirkan 76 UU titipan asing, yang dibiayai dan disusun
oleh USAID. Seperti UU Minerba, UU SDA, UU Kelistrikan, UU Perbankan, dll.
Khilafah
: Wajib dan Perlu
Syariat Islam yang indah itu akan dapat terlaksana dengan
ideal dan sempurna, jika ada sistem pemerintahan Islam. Khilafah adalah sistem
pemerintahan Islam. Khilafah menurut Dr Abdul Majid al-Khalidi (dalam kitab Qawaid
Nidzam Al Hukum fii Al Islam, hal 238) adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslim secara
keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’ serta mengemban dakwah
Islam keseluruh dunia.
Imam Ghozali dalam kitabnya al Iqtishod fi al I’tiqod mengatakan
agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah fondasi dan
kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi (tidak
didasarkan pada agama) niscaya akan runtuh. Segala sesuatu yang tidak memiliki
penjaga (tidak ada khilafah) niscaya akan hilang atau lenyap. Ibnu Taymiyah
dalam kitab majmu’ul fatawa mengatakan bahwa negara berfungsi mensukseskan
pelaksanaan syariah, dan menjadi sarana untuk mewujudkan keimanan dan ketaqwaan
masyarakat. Wajib diketahui bahwa
kekuasaan untuk mengatur urusan manusia, termasuk salah satu kewajiban agama
yang terbesar. Bahkan tanpa kekuasaan tersebut, urusan agama dan dunia tidak
akan bisa ditegakkan. Para ulama bersepakat tentang urgensi dan wajibnya penegakan imamah
atau khilafah. Berikut pendapat beberapa ulama tersebut :
•
Imam
Al-hafidz Abul Fida' Ismail ibn Katsir ketika
menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30, berkata:” …dan
sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya
mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara
manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang
mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan
hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut
kecuali dengan imam, dan: ما لايتم الواجب الا به
فهو واجب ( apabila suatu kewajiban tidak akan
sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib
pula).” (Tafsirul Qur'anil Adzim,
juz 1 hal 221).
•
Imam Al-hafidz Abu Zakaria An-Nawawi
berkata: Saya nyatakan bahwa
mengurus (untuk mewujudkan) imamah/khilafah itu adalah fardhu kifayah. (Raudhatuth
Thalibin wa Umdatul Muftin, juz 1 hal 386).
•
Imam Al Amidi:
“madzhab ahlul haq dari kalangan kaum muslimin adalah bahwa mengangkat seorang
Imam dan menyebarluaskannya adalah fardhu atas kaum Muslimin”(Ghaayatul-maram
hal 264)
•
Imam Al Hafidz Khatib Al Baghdady:
“Sesungguhnya imamah (khilafah) itu adalah fardhu yang wajib atas umat dalam
rangka pengangkatan seorang Imam”(Al Farqu baina Al Firaq hal 210)
•
Imam al Hafidz Ibn Hazm:
“semua kalangan ahlus-sunnah sepakat atas wajibnya Imamah (yakni khilafah), dan
umat wajib terikat dengan Imam yang adil yang di dalamnya ditegakkan hukum
Allah dan mengurus urusan mereka dengan hukum-hukum syariah” (Al Fashl fii
Al Milal juz IV hal 870)
Sejarah juga telah membuktikan
bahwa, tatkala Khilafah tegak maka kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dapat
terwujud. Misalnya pernyataan Carleton S dalam Technology, Business, and Our
Way of Life: What’s Next (2001) tentang peradaban Islam dari tahun
800-1600: “peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia.
Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental yang
terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain… Tentaranya merupakan
gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang
belum pernah dikenal sebelumnya” . Keemasan Khilafah ditulis secara jujur oleh
sejarahwan dunia seperti Will Durant dalam Story of Civilization.
“Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar
biasa besarnya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan
wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa
mereka.”
Mungkinkah Islam Kembali Memimpin
dunia? Sangat mungkin. Nash-nash Al-Qur’an dan hadits shohih banyak
mengkhabarkan kembalinya kejayaan peradaban Islam. Misalnya QS : Annur :55 yang
artinya : “Allah telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal-amal yang shaleh diantara kalian, bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,”(TQS an Nur[24];55).
Demikian juga firman Allah swt
dalam QS Asshof :8-9, QS Al-Maidah : 54,
memberikan seharusnya memberikan
optimisme pada kita. Nabi Muhammad SAW juga bersabda dalam Hadits
Riwayat Ahmad dari Hudzaifah bin Yaman
tentang akan tegaknya kembali Khilafah
‘ala minhajinnubuwwah, dan HR Muslim tentang Kemenangan Islam atas Yahudi.
Disamping itu potensi demografi, geopolitik, dan SDA umat Islam juga sangat
mendukung.
Pada bulan Desember 2004 M, National Intelligence Council
(NIC)/CIA, telah dipublikasikan hasil risetnya dalam laporan 123 halaman,
dengan judul Mapping the Global Future. Empat skenario
dunia tahun 2020 menurut prediksi mereka adalah
:
1.
Dovod World è China dan India akanjadi pemain penting
Politik Ekonomi Dunia
2.
Pax Americana è Dunia masih dipimpin Amerika Serikat
3. A New
Chaliphate è
Berdirinya kembali Khilafah Islamiyah, sebuah pemerintahan Islam Global yang
mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat
4.
Cycle of Fear è munculnya lingkaran ketakutan è kekacauan global.
Terlepas dari prediksi di atas, kita
kaum muslimin harus yakin dengan janji Allah dan Rasulnya. Islam akan kembali memimpin
dunia. Rahmat atas segenap alam akan kembali terwujud. Ini adalah hal yang
pasti. Dengan atau tanpa kita, Islam pasti akan menang. Tentu orang yang ikut
dalam perjuangan inilah yang layak dapat kemuliaan dunia dan akhirat.
Perjuangan penegakan Syariah dan Khilafah adalah perjuangan yang mulia. Tentu
hanya bisa berhasil jika para pejuangnya ikhlas dan cara yang dilakukan adalah
cara yang sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Yakni secara damai, tanpa
kekerasan. Hanya dengan Islam kita bisa mewujudkan keadilan, kedamaian dan
kesejahteraan untuk segenap umat manusia. Insya Allah.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []
BY ...Arni khilafa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar