Selasa, 01 Januari 2013

INDAHNYA HIDUP DALAM ISLAM



INDAHNYA HIDUP
DALAM  ISLAM[i]
Oleh : Ust Muhammadun

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dibandingkan Islam. Ketika umat manusia mengadopsi sistem Islam untuk mengatur diri dan habitatnya maka manusia akan memperoleh kejayaaan. Itulah makna Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, jika diterapkan. Namun sebaliknya jika umat manusia mencampakkan atau mengambil Islam secara parsial, kerusakan diri dan habitat manusia pasti akan terjadi. Sejarah telah membuktikan ketika Islam memimpin dunia lebih dari 13 abad, kemajuan, kesejahteraan, keadilan dan kedamaian dirasakan seluruh kalangan. Namun ketika kapitalisme berkuasa belum genap satu abab, umat manusia didera oleh berbagai bentuk kenestapaan. Bencana sosial, pembantaian, kerusakan ekosistem, kemiskinan, dan ancaman kelaparan adalah sekedar contoh dampak buruk kapitalisme.
Bagi sebagian orang, penerapan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara masih menjadi momok menakutkan. Barangkali, jika itu terjadi pada orang-orang kafir dapat dimaklumi. Namun, sangat mengherankan jika sikap itu juga menghinggapi orang-orang yang mengaku Muslim. Sebab, dari berbagai sisi, tak ada alasan untuk menolak dan takut pada penerapan syariat Islam.
            Dari sisi syariat, dalil yang mewajibkan penerapan syariat Islam secara total terkatagori qath‘i, baik tsubût maupun dalâlah-nya. Dalil itu ada yang berupa perintah kepada manusia untuk memutuskan semua perkara dengan syariat-Nya (QS al-Maidah [5]: 48, 49); ada yang  sekaligus memberikan celaan dan ancaman terhadap setiap orang yang membangkangnya (QS al-Ahzab [33]: 36). Kewajiban tersebut diperkuat dengan dalil-dalil yang melarang setiap Mukmin mengambil dan menerapkan hukum yang tidak berasal dari-Nya (QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47; an-Nisa' [4]: 50). Sedemikian kerasnya larangan itu, hingga Allah Swt. menolak pengakuan iman orang yang tidak bersedia berhukum dengan syariat Islam (QS an-Nisa' [4]: 65). Jika menerapkan syariat telah nyata merupakan kewajiban dari Allah Swt., atas dasar apa berani menolak syariat-Nya? Adakah ketentuan syariat Islam yang patut ditakuti?
            Bagian syariat yang sering dipandang sebagai momok menakutkan adalah beberapa ketentuan-ketentuan hukum dalam nizhâm al-'uqûbât (sistem pidana). Berbagai jenis dan bentuk sanksi yang ditetapkan syariat seperti cambuk, rajam, qishâsh, atau potong tangan dianggap terlalu keras dan tidak manusiawi; bahkan sudah dianggap ketinggalan zaman dan tidak layak bagi manusia modern. Tragisnya, syariat Islam yang diterapkan dalam negara kerap hanya dipahami di seputar hukum tersebut.
            Ketakutan itu jelas tak beralasan. Sebab, berbagai jenis dan bentuk hukuman yang ada dalam nizhâm al-'uqûbât itu hanya akan dikenakan kepada pelaku pelanggaran syariat. Hukuman rajam, misalnya, tidak akan ditimpakan kecuali  terhadap pelaku perzinaan; potong tangan tidak akan dijatuhkan kecuali terhadap pencuri (yang memenuhi syarat-syarat syar‘i untuk dipotong tangannya).
Oleh karena itu, mereka yang bukan pezina, pencuri, pemabuk, pembunuh, dan pelaku pelanggaran syariat lainnya tidak perlu khawatir dengan berbagai jenis hukuman itu. Lagi pula, berbagai hukuman semestinya harus dilihat sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat luas dan penjagaan dari pelanggaran syariat. Hukuman cambuk atau rajam bagi pezina, misalnya, harus dipandang sebagai perlindungan syariat agar manusia tetap menjadi makhluk beradab.
Pemahaman yang mengidentikkan syariat Islam hanya di seputar nizhâm al-'uqûbât juga merupakan kesalahan besar. Sebagai dîn yang paripurna (kâmil[an] wa syâmil[an]), Islam menyodorkan sistem yang sempurna untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Berbagai interaksi yang dilakukan manusia tidak ada yang dibiarkan lepas dari syariat untuk  mengaturnya. Syariat Islam telah memberikan pengaturan secara jelas dan operasional terhadap semua interaksi yang dilakukan oleh manusia, baik interaksi manusia dengan Tuhannya dalam bentuk akidah dan hukum-hukum ibadah; dengan dirinya sendiri dalam hukum-hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlak; maupun dengan sesamanya yang terkandung dalam hukum-hukum muamalat dan 'uqûbât. Jika dikaitkan dengan hukum-hukum lainnya, nizhâm al-'uqûbât lebih berfungsi sebagai 'palang pintu' terakhir untuk menjaga manusia agar tidak terjerumus ke dalam penyimpangan dan pelanggaran. 
Patut dicatat, semua ketetapan syariat itu pada hakikatnya adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Semua perkara yang dituntut syariat untuk dikerjakan adalah maslahat bagi manusia. Sebaliknya, semua perkara yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan adalah madarat bagi manusia.
Oleh karena itu, setiap orang yang beriman dan menaati syariat-Nya akan dianugerahi kehidupan yang baik (QS an-Nahl []: 97). Allah Swt. juga berjanji akan melimpahkan dan membukakan berkah-Nya dari langit dan bumi kepada penduduk negeri yang mau beriman dan bertakwa (QS al-A‘raf [7]: 96). Orang yang menjalankan dîn-Nya secara istiqamah juga dijamin memperoleh kehidupan yang mudah (QS al-Maidah [5]: 66).
  Terdapat banyak fakta yang menunjukkan bukti keunggulan dan kehebatan syariat Islam dalam menata kehidupan dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan. Oleh karena itu, dari sisi keunggulan, tidak ada satu pun sistem kehidupan yang melebihinya. Paparan berikut hanya mengungkap secuil bukti kebenaran tersebut.
Bidang Hukum dan Pemerintahan
Persoalan fundamental dalam sistem politik adalah menyangkut konsep kedaulatan (sovereignty atau as-siyâdah). Kedaulatan merupakan kekuasaan yang tertinggi dan mutlak; satu-satunya yang memiliki hak untuk mengeluarkan hukum. Dengan demikian, kedaulatan memiliki kedudukan amat strategis bagi kehidupan suatu negara. Ia menjadi rujukan seluruh warga negara sekaligus memiliki kekuatan hukum yang mampu memaksa mereka untuk menjalankan atau meninggalkan  sesuatu. Karena itu, konsep kedaulatan akan menentukan corak masyarakat, arah kebijakan negara, dan semua subsistem yang menjadi turunannya—seperti sistem hukum, peradilan, ekonomi, dan sebagainya.
Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariat Islam. Islam hanya mengakui Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-Hâkim) dan syariat (al-Musyarri‘); baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalat, maupun uqûbât (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang  wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt.
Dengan konsep kedaulatan ini, manusia akan terbebas dari penghambaan kepada sesama manusia. Sebab, status manusia di hadapan hukum semua sama. Tidak ada yang lebih berkuasa membuat hukum sehingga bisa memaksakan kehendaknya kepada yang lain. Tidak ada pula kekhawatiran akan ada hukum yang menguntungkan satu pihak dan menzalimi pihak lain. Sebab, hukum Islam berasal dari Zat Yang Mahaadil; Allah tidak memiliki kepentingan apapun terhadap kelompok manusia tertentu. Hukum Islam dipastikan juga tidak akan mengalami  'bongkar-pasang' karena Allah Yang Mahatahu membuat hukum sesuai dengan fitrah manusia di manapun dan kapanpun manusia berada; tidak didasarkan pada tempat dan zaman tertentu. Selama fitrah manusia sejak Nabi Muhammad saw. sampai sekarang tidak berubah, hukum Islam pun tidak akan dan tidak boleh berubah.
Memang, dalam pemerintahan, rakyat diwajibkan taat kepada pemimpin. Namun, bukan berarti pemimpin boleh memerintah dengan sekehendak hatinya. Sebab, dalam menjalankan roda pemerintahannya, pemimpin harus terikat dengan syariat. Bahkan pemimpin diangkat dalam rangka menjadi wakil umat untuk menjalankan syariat. Oleh karena itu, jika perintah pemimpin terbukti menyimpang dari syariat, ia tidak boleh didengar dan ditaati. Bahkan rakyat dan semua komponen masyarakat harus meluruskan pemimpin tersebut dengan melakukan amar makruf nahi mungkar, apa pun risikonya. Upaya itu dilakukan bukan dalam rangka menjatuhkan penguasa sebagaimana yang lazim dilakukan oleh partai oposisi dalam sistem demokrasi. Namun demikian, jika Khalifah benar-benar tidak bersedia kembali pada syariat Islam, bahkan secara terang-benderang memperlihatkan tanda-tanda kufran bawâhan (kekufuran yang nyata), rakyat harus mengambil-alih kekuasaan meskipun harus mengangkat senjata.
Jika konsep ini dijalankan dengan konsekuen, roda pemerintahan akan lurus; clean goverment akan terwujud; stabilitas pemerintahan pun dapat terjaga tanpa harus memasung sikap kritis warga negara dalam melakukan kontrol terhadap penguasa. Bagi pemimpin, konsep itu tentu amat memudahkan. Ketika dia membuat berbagai program dan kebijakan yang sesuai dengan syariat, dia berhak dan wajib ditaati rakyatnya. Andai dia keliru dan nyata-nyata bertentangan dengan syariat, rakyat siap mengingatkan dirinya. Jika memang nasihat rakyatnya memiliki dasar dalil yang kuat, dia harus menerima. Walhasil, kesalahan pun urung terjadi.
Umar bin al-Khaththab, ketika menjadi khalifah, pernah membuat keputusan berupa pembatasan jumlah mahar yang boleh diminta wanita. Kebijakan itu dikeluarkan untuk memudahkan pria dalam menikah. Akan tetapi, keputusan tersebut diprotes seorang wanita. Menurut wanita itu, kebijakan tersebut bertentangan dengan QS an-Nisa' [4]: 20. Karena didasarkan pada dalil yang kuat, Umar pun menerima protes tersebut dan berkata, "Benarlah wanita itu, dan sayalah yang keliru."
Dengan demikian, roda pemerintahan tidak bertopang pada kekuatan figur pemimpin, tetapi lebih bersandar pada ideologi negara, yakni Islam. Tidak aneh, meski dalam sejarah pernah terjadi perebutan kekuasan di antara beberapa kelompok, sistem yang diterapkan tidak mengalami perubahan. Sekitar 13 abad, Daulah Islamiyah berdiri dengan kokoh memayungi umat Islam. Bandingkan dengan Komunisme, yang pernah digemborkan penganutnya menjadi babak akhir sejarah manusia. Belum satu abad, ideologi itu sudah bangkrut dan ditinggalkan pengikutnya. Demikian pula dengan Kapitalisme. Meskipun terlihat menggurita, sebenarnya ideologi ini  juga amat keropos. Dipastikan, tidak lama lagi ideologi ini pun akan ambruk menyusul ideologi yang pernah menjadi pesaingnya.
Syariat Islam dalam Dunia Pendidikan
            Dalam pendidikan, akidah Islam diletakkan sebagai asasnya. Akidah Islam inilah yang menjadi penentu arah dan tujuan pendidikan, kurikulum yang diajarkan, dan metode pengajaran; termasuk penentuan guru dan budaya sekolah dalam semua jenjang pendidikan.
Akidah Islam adalah asas dalam konteks mengambil dan meyakininya. Dengan kata lain, akidah Islam harus dijadikan sebagai standar untuk menilai, apakah pengetahuan yang diambil itu bertentangan dengannya atau tidak.
            Sebagai konsekuensinya, pendidikan dalam Islam dapat memilah tegas antara tsaqâfah dan ilmu-ilmu eksperimental. Dalam hal tsaqâfah (pemikiran), umat Islam hanya diperbolehkan mengambil dan meyakini pemikiran yang berasal dari Islam; tidak boleh mengadopsi tsaqâfah lainnya. Sebab, tsaqâfah terkait erat  dengan akidah dan sistem kehidupan. Sebaliknya, dalam hal ilmu-ilmu eksperimental dan teknologi seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi, matematika, dan sebagainya, kita boleh belajar dan mengambilnya dari kaum kuffâr. Sebab, semua jenis pengetahuan tersebut bersifat universal yang tidak terkait dengan ideologi tertentu.
            Dengan konsep tersebut, tujuan pendidikan yang diorientasikan untuk melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqâfah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan) akan benar-benar terwujud. Sebaliknya, kepribadian ganda pada pelajar-pelajar Muslim hasil didikan sistem pendidikan sekular—yang selama ini banyak dikeluhkan—dapat dicegah.
            Islam mewajibkan para penguasa untuk membiayai pendidikan rakyatnya. Sebab, dalam pandangan syariat, penguasa berkewajiban memelihara, mengatur, dan melindungi urusan rakyat, termasuk dalam bidang pendidikan dan pemberantasan kebodohan. Semua rakyat harus dapat menikmati pendidikan secara cuma-cuma. Seluruh warga negara juga diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan fasilitas sebaik mungkin.
Dana pendidikan itu diambil dari kas Baitul Mal. Ketetapan ini diambil berdasarkan fi‘liyyah Rasulullah saw. Rasulullah saw., yang juga menjadi kepala negara, telah menganti tebusan yang harus dibayar para tawanan Perang Badar dengan keharusan mereka masing-masing untuk mengajar sepuluh kaum Muslim. Pada masa pemerintahan Umar bin al-Khaththab, para guru yang mengajar anak-anak juga mendapatkan gaji 15 dinar (1 dinar=4.25 gram emas) yang diambilkan dari Baitul Mal.
Langkah itu diikuti oleh para khalifah dan penguasa berikutnya. Di Baghdad pernah dibangun Universitas al-Mustanshiriyyah. Khalifah Hakam bin Abdurraham an-Nashir juga pernah mendirikan Universitas Cordova yang saat itu menampung mahasiswa dari kaum Muslim maupun dari Barat. Universitas-universitas itu telah mencetak para ilmuan yang pengaruhnya mendunia hingga kini melalui berbagai temuan-temuannya; seperti ar-Razi, orang pertama yang mengidentifikasi penyakit cacar dan campak dan menggeluti bidang operasi; Ibnu al-Haitsam, ahli optik yang menemukan perbandingan  antara sudut pemantulan (refleksi) dan pembiasan (refraksi); al-Khawarizmi, orang pertama yang menyusun aljabar; Jabir bin Hayan, seorang ahli kimia yang terkenal; al-Biruni yang meletakkan sebuah teori sederhana guna mengetahui volume dari lingkungan geologis; dan sebagainya.
Kondisi itu tentu jauh berbeda dengan saat ini. Biaya pendidikan dibebankan kepada rakyat. Akibatnya, pendidikan menjadi mahal. Hanya keluarga yang berkantong tebal saja yang bisa menikmati pendidikan. Jika kebijakan itu diteruskan  maka kebodohan dan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat akan tetap terjadi. Kebodohan dan kemiskinan struktural pun menjadi tak terhindarkan. Kondisi itu tentu menjadi 'bom waktu' yang akan meledak suatu saat.

Syariat Islam dan Pelayanan Kesehatan
            Sebagaimana pendidikan, kesehatan juga merupakan kebutuhan asasi yang harus dirasakan manusia dalam hidupnya. Keduanya termasuk masalah 'pelayanan umum (ri’âyat syu’ûn al-ummah) dan kemaslahatan hidup terpenting'. Dalam hal ini, negara wajib menjaga dan mewujudkan pemenuhannnya bagi seluruh warganya; baik Muslim maupun non-Muslim, kaya maupun miskin. Semua biaya yang diperlukan menjadi tanggungan Baitul Mal.
            Ketetapan itu didasarkan pada fi‘liyyah Rasulullah saw. Ketika beliau menerima hadiah dari Muqauqis, Raja Mesir, berupa dokter (ahli pengobatan), dokter itu dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan untuk seluruh rakyat. Tugasnya mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Sikap beliau menjadikan dokter untuk kepentingan umum ini berbeda saat beliau mendapatkan hadiah dari Raja Aikah berupa selimut  bulu dan keledai. Hadiah tersebut digunakan beliau sebagai milik pribadi. Tindakan Rasulullah saw. tersebut, yakni menjadkan dokter untuk seluruh rakyat, menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan beliau, namun untuk kaum Muslim.
Pernah serombongan orang yang berjumlah delapan orang dari Urainah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah saw. Di sana mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah saw. memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan mereka diizinkan memimum susu unta karena mereka memang berhak. Rasulullah saw. juga pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dari harta Baitul Mal.
Pada masa lalu, Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Ia telah menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Umar bin al-Khaththab ra. pernah  memberikan sesuatu dari Baitul Mal untuk membantu suatu kaum yang terserang lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut.
            Hal yang sama juga dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali sesudahnya. Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman, dan obat-obatan serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang yang sakit.
Bani Umayah banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena penyakit lpra dan tuna netra. Bani Abasiyah juga banyak mendirikan rumah sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus, dan lain-lain. Merelah yang mempopulerkan rumah sakit keliling.
            Jadi, menyediakan dokter di tengah-tengah masyarakat, mengatasi problema kesehatan masyarakat, serta membangunan sarana atau balai-balai kesehatan adalah tugas yang dibebankan Islam kepada negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.
            Jaminan negara terhadap rakyatnya dalam bidang kesehatan ini amat penting. Sebab, salah satu indikator sebuah negara dikatakan kuat adalah warganya hidup sehat, baik fisik maupun psikisnya. Tingkat kesehatan warga juga akan berpengaruh pada tingkat produktivitas, kreativitas, dan kesejahteraan warga.
Sebaliknya, pengabaian tanggung jawab ini akan berakibat fatal bagi masyarakat secara luas. Ketika pembiayaan kesehatan dibebankan kepada rakyat, kesehatan menjadi barang mahal. Orang-orang miskin, karena tidak mempunyai cukup uang, tidak bisa berobat. Padahal, bisa jadi penyakit yang diidapnya itu adalah penyakit menular yang berbahaya, yang jika dibiarkan tidak diobati, akan berubah menjadi wabah yang mengancam seluruh warga masyarakat.

 Kedudukan Non-Muslim
            Dalam konteks bernegara, secara umum orang kafir terbagi menjadi dua, yakni: (1) warga negara; (2) bukan warga negara. Orang-orang non-Muslim yang termasuk warga negara Islam disebut kafir dzimmi, yakni orang-orang yang tidak beragama Islam namun hidup di dalam naungan Daulah Islamiyah. Orang yang berstatus dzimmi memiliki perjanjian berupa perlindungan dari umat Islam untuk memperlakukan mereka sesuai dengan apa yang layak untuk mereka, termasuk mengatur segala urusan mereka dengan hukum Islam.
            Semua orang yang menyandang status sebagai warga negara akan menikmati semua hak, di samping menjalankan semua yang ditetapkkan oleh syariat. Tidak ada bedanya antara Muslim atau non-Muslim. Mereka harus diperlakukan secara adil (QS an-Nisa' [4]:  8).
            Negara juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada individu-individu tertentu di antara rakyatnya dalam masalah hukum, pengadilan, dan pengaturan berbagai urusan; tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras, agama, atau yang lainnya. Dalam hal muamalat dan 'uqûbât, negara menerapkan hukum Islam kepada seluruh warganya, baik Muslim maupun bukan.
            Sedangkan dalam hal keyakinan agama, mereka tidak diganggu (QS al-Baqarah [2]: 256); demikian pula dalam urusan pernikahan dan perceraian. Mereka juga tidak dipaksa ikut berjihad. Dalam hal makanan dan pakaian, mereka diperlakukan sesuai dengan agama mereka. Jika agama mereka membolehkan babi dan khamr, mereka diizinkan mengkonsumsinya; asal berada dalam lingkungan mereka. Kaum laki-lakinya juga tidak dilarang mengenakan emas atau sutra. Hanya saja, mereka tidak diperbolehkan memperjualbelikan makanan atau minuman yang diharamkan Islam itu di pasar-pasar. Wanita-wanitanya juga tidak diperkenankan menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan syariat ketika berada dalam kehidupan umum. Sebab, dalam kehidupan umum semua warga negara harus tunduk pada hukum Islam tanpa memperhatikan lagi agama yang dipeluknya.
            Dalam sejarah, orang-orang non-Muslim telah merasakan bagaimana pengaturan dan jaminan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan pokok di bawah naungan Khilafah. Diceritakan dalam kitab al-Kharâj karangan Abu Yusuf bahwa Amirul Mukminin, Umar bin al-Kaththab ra., suatu saat melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya, "Apakah ada yang dapat aku bantu?" Orang Yahudi itu menjawab, bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. "Usiaku sudah lanjut," katanya. Umar lalu berkata, "Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya kami, karena kami mengambil sesuatu darimu pada saat mudamu dan kami membiarkanmu di kala tuamu."
            Setelah berkata demikian, Khalifah Umar lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitul Mal untuk menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya.    Paparan di atas menunjukkan, bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dari penerapan syariat Islam. Bahkan seharusnya, syariat Islam dirindukan oleh setiap orang. Siapa yang tidak merindukan hidup sejahtera, tenteram, dan bahagia di bawah naungan Islam? Jika kebenaran dan keunggulan Islam telah terpampang dengan jelas, masihkah ada yang betah berlama-lama hidup menderita di bawah cengkeraman Kapitalisme, sebagaimana saat ini?
Sengsara dalam Sistem Kapitalisme
Akibat kepitalisme antara lain adalah kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan. Menurut  Laporan Global Hunger Index (GHI) yang dibuat oleh International Food Policy Research Institute, Sepanjang tahun 2010 terdapat 1 Miliar penduduk dunia yang mengalami kelaparan. 120 pemimpin dunia di awal milenium ini telah  berkumpul mengajukan konsep MDGs. Mereka ingin menurunkan angka kemiskinan, tetapi tetap dalam cengkeraman kapitalisme .Apa yang terjadi? Menurut Bank Dunia kemiskinan ekstrem bertambah 50 juta pada 2009 dan 64 juta tahun 2010. Krisis membuat tingkat kemiskinan bisa lebih tinggi pada 2015.
Disamping itu pembantaian dan penjajahan terjadi di berbagai belahan dunia. Di Palestina, Irak, Afghanistan dan kini di Pakisten. Kerusakan moral juga teramat parah. Jutaan manusia terancam mati karena AIDS. Belum lagi dampak buruk pornografi, pergaulan bebas, aborsi, tersebarnya aliran sesat dll. Kerusakan lingkungan akibat aksploitasi SDA oleh para kapitalis juga teramat parah. Akibatnya bumi makin gersang dan panas (global warming), muncul 35 penyakit baru, dan bencana  pun makin merajalela.
Sebetulnya Ideologi kapitalisme kini sudah sekarat. Moris Berman, 63 tahun, ahli sejarah kebudayaan kelahiran New York, yang memperoleh Ph D dari Johns Hopkins University, menulis buku Dark Ages America: The Final Phase of Empire (Norton, 2006),  yang meramalkan imperium Amerika segera akan rubuh. Direktur Bank Dunia, Robert Zeolllick menyatakan, krisis ekonomi di dunia yang secara berkala terjadi menunjukkan kegagalan sistem ekonomi kapitalis. Hingga tahun 2010 total utang Negeri Amerika Serikat sudah mencapai US$ 12 triliun. Jika dibandingkan dengan total produk domestik bruto (PDB) negara itu yang sebesar US$ 14,5 triliun, rasio utang terhadap PDB Amerika sudah 82,7 persen. Artinya negara ini sudah bangkrut. “The way of life known as Western Civilization is on a death path” kata John Mohawk, pakar sejarah Amerika di The State University of New York. Lantas mengapa mereka masih bisa bertahan?
Kapitalisme masih bisa bertahan karena masih adanya dukungan dari rezim-rezim boneka di dunia Islam. Sehingga mereka merelakan negerinya menjadi  mangsa kapitalisme global. Obyek bagi budaya Barat. Pasar bagi produk industri negara-negara barat.  Mereka juga merelakan kekayaan sumberdaya alamnya dieksploitasi oleh korporat asing penopang idelologi kapitalisme.
Kapitalisme akan terus disebarkan dengan metode isti’mar (penjajahan). Baik penjajahan primitif seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan. Ataupun dengan model neo-imperialisme seperti penjajahan budaya, hukum politik, dan ekonomi. Penjajahan melalui proses legislasi yang terjadi di Indonesia misalnya. Menurut anggota DPR Eva Kusuma Sundari, sejak Reformasi hingga saat ini sudah dilahirkan 76 UU titipan asing, yang dibiayai dan disusun oleh USAID. Seperti UU Minerba, UU SDA, UU Kelistrikan, UU Perbankan, dll.

Khilafah : Wajib dan Perlu
Syariat Islam   yang indah itu akan dapat terlaksana dengan ideal dan sempurna, jika ada sistem pemerintahan Islam. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam. Khilafah menurut Dr Abdul Majid al-Khalidi (dalam kitab Qawaid Nidzam Al Hukum fii Al Islam, hal 238) adalah  kepemimpinan umum bagi kaum muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam keseluruh dunia.
 Imam Ghozali dalam kitabnya al Iqtishod fi al I’tiqod mengatakan agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi (tidak didasarkan pada agama) niscaya akan runtuh. Segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga (tidak ada khilafah) niscaya akan hilang atau lenyap. Ibnu Taymiyah dalam kitab majmu’ul fatawa mengatakan bahwa negara berfungsi mensukseskan pelaksanaan syariah, dan menjadi sarana untuk mewujudkan keimanan dan ketaqwaan masyarakat. Wajib diketahui bahwa kekuasaan untuk mengatur urusan manusia, termasuk salah satu kewajiban agama yang terbesar. Bahkan tanpa kekuasaan tersebut, urusan agama dan dunia tidak akan bisa ditegakkan. Para ulama bersepakat  tentang urgensi dan wajibnya penegakan imamah atau khilafah. Berikut pendapat beberapa ulama tersebut :
         Imam Al-hafidz Abul Fida' Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30, berkata:” …dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam, dan: ما لايتم الواجب الا به فهو واجب  ( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula).” (Tafsirul Qur'anil Adzim,  juz 1 hal 221).
         Imam Al-hafidz Abu Zakaria An-Nawawi berkata: Saya nyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) imamah/khilafah itu adalah fardhu kifayah. (Raudhatuth Thalibin wa Umdatul Muftin, juz 1 hal 386).
         Imam Al Amidi: “madzhab ahlul haq dari kalangan kaum muslimin adalah bahwa mengangkat seorang Imam dan menyebarluaskannya adalah fardhu atas kaum Muslimin”(Ghaayatul-maram hal 264)
         Imam Al Hafidz Khatib Al Baghdady: “Sesungguhnya imamah (khilafah) itu adalah fardhu yang wajib atas umat dalam rangka pengangkatan seorang Imam”(Al Farqu baina Al Firaq hal 210)
         Imam al Hafidz Ibn Hazm: “semua kalangan ahlus-sunnah sepakat atas wajibnya Imamah (yakni khilafah), dan umat wajib terikat dengan Imam yang adil yang di dalamnya ditegakkan hukum Allah dan mengurus urusan mereka dengan hukum-hukum syariah” (Al Fashl fii Al Milal juz IV hal 870)
            Sejarah juga telah membuktikan bahwa, tatkala Khilafah tegak maka kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud. Misalnya pernyataan Carleton S dalam Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next (2001) tentang peradaban Islam dari tahun 800-1600: “peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental yang terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain… Tentaranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum pernah dikenal sebelumnya” . Keemasan Khilafah ditulis secara jujur oleh sejarahwan dunia seperti Will Durant dalam Story of Civilization. “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.”
            Mungkinkah Islam Kembali Memimpin dunia? Sangat mungkin. Nash-nash Al-Qur’an dan hadits shohih banyak mengkhabarkan kembalinya kejayaan peradaban Islam. Misalnya QS : Annur :55 yang artinya : Allah telah berjanji kepada orang-orang  yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh diantara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,”(TQS an Nur[24];55).
            Demikian juga firman Allah swt dalam  QS Asshof :8-9, QS Al-Maidah : 54, memberikan seharusnya memberikan  optimisme pada kita. Nabi Muhammad SAW juga bersabda dalam Hadits Riwayat  Ahmad dari Hudzaifah bin Yaman tentang akan tegaknya kembali Khilafah ‘ala minhajinnubuwwah, dan HR Muslim tentang Kemenangan Islam atas Yahudi. Disamping itu potensi demografi, geopolitik, dan SDA umat Islam juga sangat mendukung.
            Pada bulan Desember 2004 M, National Intelligence Council (NIC)/CIA, telah dipublikasikan hasil risetnya dalam laporan 123 halaman, dengan judul Mapping the Global Future. Empat skenario dunia tahun 2020 menurut prediksi mereka adalah  :
1. Dovod World è China dan India akanjadi pemain penting Politik Ekonomi Dunia
2. Pax Americana è Dunia masih dipimpin Amerika Serikat
3. A New Chaliphate è Berdirinya kembali Khilafah Islamiyah, sebuah pemerintahan Islam Global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat
4. Cycle of Fear è munculnya lingkaran ketakutan è kekacauan global.

            Terlepas dari prediksi di atas, kita kaum muslimin harus yakin dengan janji Allah dan Rasulnya. Islam akan kembali memimpin dunia. Rahmat atas segenap alam akan kembali terwujud. Ini adalah hal yang pasti. Dengan atau tanpa kita, Islam pasti akan menang. Tentu orang yang ikut dalam perjuangan inilah yang layak dapat kemuliaan dunia dan akhirat. Perjuangan penegakan Syariah dan Khilafah adalah perjuangan yang mulia. Tentu hanya bisa berhasil jika para pejuangnya ikhlas dan cara yang dilakukan adalah cara yang sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Yakni secara damai, tanpa kekerasan. Hanya dengan Islam kita bisa mewujudkan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan untuk segenap umat manusia. Insya Allah.

           Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []
 BY ...Arni khilafa


[i] Disampaikan dalam Seminar “Sejahtera Dalam Naungan Khilafah” di Perawang, 1432 H/2011 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar